counter

Website counter

Kamis, 14 Februari 2008

Sejenak Berpuisi

[Tadarus Puisi # 024]

Aku Ingin Aku Luka

INILAH tiga sajak dari tiga penyair yang mendedahkan kontras, paradoks dan ironi terhebat dalam perpuisian Indonesia . Ironi pada sajak "Aku" Chairil Anwar, Kontras pada "Luka" Sutardji Calzoum Bachri, paradoks pada "Aku Ingin" Sapardi Djoko Damono.


/1/
Adakah ironi yang lebih besar daripada kejalangan hidup yang mudah sekali dikalahkah oleh ketegasan maut? Adakah ironi yang lebih besar daripada seorang anak muda yang pada usia 21 tahun menulis larik "aku ingin hidup seribu tahun lagi", lalu pada usianya yang ke- 27, maut menjemputnya?

Ironi Chairil tidak lagi terbatas pada bait-bait sajaknya. Ironi Chairil memautkan dan menautkan antara sajaknya dan kehidupannya. Ketika terbaring sakit Chairil sempat menuliskan kalimat terakhir yang mengobarkan semangat angkatannya. Kulitnya kala itu ditembus peluru penyakit, dan ia tidak bisa berlari badaniah. Pikirannya sebenarnya tak pernah berhenti berlari ke mana-mana untuk menghilangkan pedih risah jiwanya. Pedih dan sakit itu memang hilang, ia tak merasakan lagi karena mau menjemputnya.

AKU

Kalau sampai waktuku
'Ku mau tak seorang 'kan merayu
Tidak juga kau

Aku ini binatang jalang
Dari kumpulannya terbuang

Biar peluru menembus kulitku
Aku tetap meradang menerjang

Luka dan bisa kubawa berlari
Berlari
Hingga hilang pedih peri

Dan aku akan lebih tidak perduli

Aku mau hidup seribu tahun lagi.

(Chairil Anwar, Maret 1943)




/2/
KETIKA luka dihadapi dengan ha ha, dengan lantang tawa, adakah kontras sikap yang bisa melebihinya? Adakah kegagahan sikap yang bisa lebih gagah lagi daripada ketika luka dihadapi seperi merasakan gelitikan yang menggelikan saja? Kontras pada sajak Sutardji Calzoum Bachri ini menjadi-jadi karena antara judul dan bait langsung berhadap-hadapan. Langsung mendedahkan pertentangan. Kita tak sempat apa-apa. Kita tak bisa menyiapkan diri. Kita langsung diajak untuk ikut berha ha ha, lalu perlahan sadar yang kita tertawakan adalah luka, luka kita.

Kedalam ia menawarkan kontras yang dalam, keluar pun kontras itu amat terasa. Memang ada sajak pendek lain di kumpulan buku yang sama, yaitu sajak yang berjudul "KALIAN" yang isinya cuma satu kata: /pun/. Dua sajak ini, hadir sebagai kontras di hadapan sajak-sajak lain di buku itu yang umumnya panjang, bahkan kontras itu masih ada ketika berhadapan dengan sajak-sajak lain karya penyair lain di negeri ini.

LUKA

ha ha

(Sutardji Calzoum Bachri, 1976)




/3/
KETIKA cinta yang luar biasa itu diungkapkan dengan sederhana, maka yang tersaji di hadapan kita adalah sebuah paradoks yang luar biasa. Ketika keikhlasan mencintai mengantar pada kesadaran untuk berkorban bagi dia yang dicintai, dan itu disebut sebagai sebuah cinta yang sederhana saja, adakah paradoks yang lebih hebat daripada itu?

Keikhlasan itu, cinta itu tak sempat diucapkan. Bahkan bila pun ia hanya sebagai isyarat. Si aku telah melakukan cinta itu. Ia menunjukkan dengan perbuatan, tanpa berharap, cinta itu dibalas. Ia mungkin bahkan tak berharap di engkau yang ia cintai itu tahu bahwa ia mencintainya. Inilah paradoks lain dalam sajak ini. Cinta yang menawarkan cara mencintai yang berbeda dengan cinta yang kebanyakan kita lakoni saat ini. Padahal sebetulnya, pada hakikatnya, begitulah cinta yang sesejatinya itu.

AKU INGIN

aku ingin mencintaimu dengan sederhana:
dengan kata yang tak sempat diucapkan
kayu kepada api yang menjadikannya tiada

aku ingin mencintaimu dengan sederhana:
dengan isyarat yang tak sempat disampaikan
awan kepada hujan yang menjadikannya tiada

(Sapardi Djoko Damono, 1980)


Hak cipta pada hasan aspahani

Rabu, 06 Februari 2008

Episode Kehidupan

Kemarin upacara pelepasan jenazah sahabat kita. Suatu kehilangan bukan hanya pribadi perorangan, tapi juga buat organisasi lembaga. Ada yang meninggal, ada teman kita yang baru melahirkan, ada yang menikahkan anaknya, ada yang sakit, ada yang anaknya sakit, ada yang senang, ada yang ulang tahun Lengkaplah sudah episode manusia di awal Februari 2008 ini. Sudah seperti suatu negara sendiri. Kalau ada Soul of The Nation, tentu ada Soul of The Institution, ada Soul of Us, juga ada Soul of The Man.

Seperti halnya kematangan jiwa pribadi. Kita pun semakin matang. Belajar hidup, menghidupkan waktu tidak pernah membunuh waktu, mengasah dan memperkaya jiwa, berziarah, berjalan-jalan, bermain-main dengan bahaya, berpetualang, dengan cinta, with all heart & soul: saling menyempurnakan. Bertransformasi menjadi semakin bijak, sampai akhirnya selesailah suatu episode kehidupan. Memang, apapun yang hidup pasti mengalami kematian. Hanya Allah-lah yang Mahahidup. Tetapi di ranah soul & spirit, di dimensi jiwa & ruh, kehidupan berjalan terus. It's never ending story.

Dari Keabadian kepada Waktu. Sudah menjadi naluri manusia agar bisa hidup abadi. Padahal kita hidup berkembang berdasarkan tahap-tahap waktu yang diikuti sesuai dengan rencana. Menemukan kembali waktu dalam keabadian menjadi sesuatu yang perlu dicermati. Gagasan waktu, siklus, ritme, irama, musim, jam, detik, dari momentum ke momentum. Seperti dikatakan Gibran:

WAKTU

Dan jika engkau bertanya, bagaimanakah tentang Waktu?….
Kau ingin mengukur waktu yang tanpa ukuran dan tak terukur.

Engkau akan menyesuaikan tingkah lakumu dan bahkan mengarahkan perjalanan jiwamu menurut jam dan musim.
Suatu ketika kau ingin membuat sebatang sungai, di atas bantarannya kau akan duduk dan menyaksikan alirannya.

Namun keabadian di dalam dirimu adalah kesadaran akan kehidupan nan abadi,
Dan mengetahui bahwa kemarin hanyalah kenangan hari ini dan esok hari adalah harapan.


Dan bahwa yang bernyanyi dan merenung dari dalam jiwa, senantiasa menghuni ruang semesta yang menaburkan bintang di angkasa.

Setiap di antara kalian yang tidak merasa bahwa daya mencintainya tiada batasnya?
Dan siapa pula yang tidak merasa bahwa cinta sejati, walau tiada batas, tercakup di dalam inti dirinya, dan tiada bergerak dari pikiran cinta ke pikiran cinta, pun bukan dari tindakan kasih ke tindakan kasih yang lain?

Dan bukanlah sang waktu sebagaimana cinta, tiada terbagi dan tiada kenal ruang?Tapi jika di dalam pikiranmu haru mengukur waktu ke dalam musim, biarkanlah tiap musim merangkum semua musim yang lain,Dan biarkanlah hari ini memeluk masa silam dengan kenangan dan masa depan dengan kerinduan.


Dari momentum ke momentum, dari miles stones ke miles stones, dari episode ke episode kehidupan.

Gaudeamus igitur, iuvenes dum sumus: Mari kita bersenang-senang, selagi masih muda

Berani-cinta-bijaksana